*( dilengkapi dengan foto 11 lukisan yang sedang dibicarakan )* 
Ini terjemahan dari kliping Koran The Jakarta Post (9/Feb/2016) , yg pernah diposting dengan judul : Herri Soedjarwanto & Lukisannya ;  dalam liputan The Jakarta Post 
  | 
|  Photos by JP/Erlin Graham, screenshoot INDONESIA NOW - The Jakarta Post | 
 
diterjemahkan dari artikel aslinya :
STARK REALISM FROM A GENTLE ARTIST, 
NO MONOCHROME ARTIST
By : Duncan Graham *(jurnalis senior Australia, tinggal di New Zealand)
(First published in  The Jakarta Post 9 February 2016)
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 
 
Master of Realisme:
Pelukis Herri Soedjarwanto di studionya di Surakarta, Jawa Tengah. - 
Jika selera seni Anda memerlukan bumbu dengan teka-teki,
keingintahuan, kontradiksi, tantangan dan membingungkan-.. maka..  janganlah  mencari realisme, seperti yang dibuat oleh
pelukis asal Solo Herri Soedjarwanto.
Lukisan potret nya yang molek terlihat lebih seperti sentuhan
penyempurnaan photography , yang merupakan salah satu kritikan yang dilemparkan
di media oleh mereka yang lebih memilih seni abstrak.
Soedjarwanto adalah seorang murid terkemuka Dullah, yang di Indonesia dijuluki Raja Realisme, favorit istana semasa pemerintahan Soekarno. Ia menyelesaikan (tepatnya melukis ulang ) beberapa karya Dullah (khususnya karya kolosal, besar, yg tak pernah selesai) , setelah pelukis tua itu meninggal karena serangan jantung pada tahun 1996.
Diantaranya termasuk adegan pergerakan kerumunan masa yang banyak
, yang  menampilkan presiden pertama (Bung
Karno-pen) bertemu dengan orang-orang di bawah langit yang penuh bergelombang dengan
bendera merah dan putih --  fantasi dari seorang
nasionalis.
Namun jika Anda berpikir lukisan tersebut terlalu unsubtle, romantis
dan penuh kejayaan kebangsaan dan lebih suka penjelasan baku apa adanya, maka
Anda perlu (dan harus) mendengar penjelasan dari seorang seniman seperti Herri Soedjarwanto.
"Orang-orang dapat memiliki lebih dari satu
kepribadian," katanya di studionya di Solo, di mana ia sudah tinggal selama
20 tahun terakhir, dikelilingi oleh kanvas dari lantai sampai ke langit-langit. 
"Beberapa lukisan yang saya buat untuk klien,  bercorak 
realistik. Seperti yang ini , pasangan Bali dalam pakaian tradisional
setelah pernikahan mereka -
 
tapi karya-karya  saya yang lain datang (tercipta) dari  hati "
.
 Dan betapa hati yg
besar itu terpenuhi oleh masalah besar – atau setidaknya begitulah tampaknya. 
Dalam satu kanvas besar, gambaran sosok Soekarno menangisi sebuah  pemandangan yang tersiksa oleh kemiskinan,
penderitaan dan kekacauan. Semua mimpi Proklamator untuk bangsa yang makmur sejahtera
dan bahagia hancur oleh keserakahan, intoleransi dan korupsi.
Kemudian ada suasana kehidupan pedesaan dari presiden kedua
Soeharto, baju terbuka, lengan digulung, memegang seikat padi. Dia memimpin di
kepala meja sarat dengan panen  produk
pertanian yang dihasilkan oleh petani-petani yang tegap. Bahkan binatang buaspun
terlihat senang .. 
Figur ayah periang yang memegang jabatan tertinggi selama 32
tahun duduk dikelilingi oleh anak-anak montok dan warga yang puas bahagia dalam
lanskap pastoral kemakmuran, subur, meskipun salah satu figur tidak-terlihat
jelas di tepi kiri telah berbalik dan berjalan pergi seperti tamu yang tidak
diinginkan . Demokrasi? Tidak ada seorang pun yang mengatakan.

Karya tersebut adalah: 
 Pak Harto si Anak Desa [Soeharto the
Villager]; yang terpajang di 
Museum Purna Bhakti Pertiwi Jakarta Timur,.. Karya
yang merayakan kehidupan dan pemerintahan presiden kedua.
 
Soedjarwanto mengatakan karya seni itu dibeli (tahun 1998) seharga
Rp 40 juta [US $ 3.000] oleh Sudwikatmono, sepupu terakhir  Soeharto , dan disumbangkan ke museum, jelas karena
pertimbangan penghormatan, penghargaan  kepada kerabatnya.
Namun lukisan itu juga telah digunakan sebagai  cover buku ”Illiberal Democracy in Indonesia “
oleh akademisi Australia Prof Dr David Bourchier dan diterbitkan tahun ini
(2015, oleh penerbit legendaris Routledge di Inggris-pen)
Buku ini tentu bukan pidato pujian untuk pemimpin terakhir
yang  sekarang secara luas dianggap
sebagai seorang penguasa lalim yang korup yang memerintahkan menghancurkan
perbedaan pendapat, kritik dan upaya artistik. Menukar wajah Soeharto dengan  Yesus Kristus , dan lukisan itu  bisa
menyemarakkan dinding sebuah gereja evangelis atau  gereja karismatik yang  lebih peduli dengan puji-pujian dari pada maksud
tujuan.
"Terserah pada orang-orang  lain untuk memutuskan apa arti / makna lukisan
itu," kata Soedjarwanto. "Saya serahkan pada  Anda untuk menilainya. Anda pikir itu sebuah
(lukisan) parodi? It’s OK."

Tapi itu menjelaskan dengan gamblang bahwa sang seniman,  yang mengenakan baret revolusioner itu, bukanlah  pencinta dari sang  jenderal yang telah menggulingkan pahlawan-nya.
Salah satu lukisan realistik terbesar di studio menunjukkan Soekarno muda
dengan Fatmawati, istri kedua dari sembilan istri-istrinya.
 
Karya-karya yang lain  adalah potret ramah orang-orang cantik dan
profesional , digarap dan diselesaikan dengan setiap rambut dan lesung pipit tepat pada tempatnya
, .. atau pemandangan mengerikan dari Armageddon.
Meskipun Soedjarwanto dan Meilina istrinya yang Cina adalah Muslim, beberapa karyanya memiliki rasa suasana hari  kiamat yang dikisahkan Alkitab. 
Kapitalisme perkotaan berdiri
di Cloudscape disangga dengan  tiang
kurus dipegang  tegak keatas  oleh massa yang  kelaparan.  Ketika itu semua berjalan terhuyung -
datanglah Apocalypse.
Old Master (dunia) yang agak mendekati (karakter Herri)  mungkin adalah  Hieronymus Bosch, seorang pelukis Belanda  abad ke-15.. Pelukis adegan pemandangan massa yang
 penuh penderitaan. Namun Soedjarwanto
menegaskan bahwa  pahlawan / idola nya yang
sebenarnya adalah seniman abstrak Pablo Picasso [yang ulang tahunnya kebetulan
sama dengan Herri - 25 Oktober],  meskipun artis 
Indonesia ini belum memeluk corak Kubisme dari periode akhir  artis Spanyol itu.
Pelatihan formal Soedjarwanto di bidang seni adalah dengan Dullah,  tapi bakatnya sudah terpampang saat masih remaja ketika ia membuat komik bergambar
yang hidup. Meskipun berdasarkan pahlawan nyata dan mitos Jawa (China) mereka
mengikuti gaya Amerika,  dramatis, close-up, kalimat kaku dan action yang dinamis.
Garis yang tegas dan proporsional, tekniknya begitu halus dan
profesional , semuanya  terlihat
seolah-olah kemampuan teknis itu  datang
dari veteran di sebuah studio seni komersial. .. Sangat Jelas pria ini  memiliki bakat yang luar biasa dengan kuas dan
pena.
Kadang-kadang ia mengajar di kelas, tapi dia mungkin seorang
guru yang sulit. Setiap murid yang mengukur kemampuan alami mereka, akan
berhadapan / berlawanan dengan kekurangan-kekurangan  yang akan dia temukan
"Seperti Picasso Saya mencoba untuk menjadi multi-purpose,"
katanya. "Jika perasaan saya sedang baik saya melukis potret realistis,
tapi ketika saya sudah merasa tertekan dengan berita dari media,  saya harus membersihkan perasaan saya,  melampiaskannya 
melalui seni."..
"Saya mendapatkan ide-ide saya melalui berita dan omongan
jalanan. Saya tahu apa yang menjadi kekuatiran dan kegelisahan orang. Mereka
tidak memiliki surat kabar seperti politisi, tetapi mereka masih memiliki opini
 yang kuat yang mereka tidak takut untuk menyebarkannya.
"
Tidak ada gambar yang melibatkan Presiden yang sekarang? 
"Belum ada.. Saya sedang menunggu kepemimpinannya dan tindakannya yang
bisa menjangkau dan menyentuh saya (untuk melukisnya)."
Salah satu bagian yang sangat biadab , seorang tokoh
Keadilan seperti pengacara / hakim dengan penutup mata robek menusuk pedang pada
timbangan yang hancur – sebuah respon untuk tragedi skandal peradilan. (Skandal
Aqil Mochtar, Hakim Mahkamah Konstitusi) 
Soedjarwanto mencoba untuk menjelaskan kontradiksi ini :
"Bagi saya, lukisan adalah alat komunikasi. Di dalam kehidupan
sehari-hari, apakah saya  harus membatasi
diri untuk berbicara tentang satu hal saja - gadis cantik, pegunungan indah
atau berkonsentrasi pada kemiskinan?
"Tidak! Setiap hari saya berbicara tentang segala
sesuatu dari yang sepele hingga yang serius, tentang perasaan senang bahagia ..
melewati  keburukan, penderitaan dan
ketidakadilan. Itulah  yang menjadi
refleksi  Seni saya - segala sesuatu, semua hal. Itu  seperti sebuah buku harian yang mencatat merekam
emosi saya.. 
"Saya tahu ini membingungkan para pembeli yang suka
mengoleksi lukisan potret atau lanskap dan membutuhkan pasokan yang konsisten.
Mereka ingin saya untuk mengkhususkan diri .  
Tidak apa-apa ; Aku tidak akan terintimidasi untuk kemudian  berderap lari mengikuti ide-ide mereka. Aku hanya ingin jujur dan mengikuti hati nurani ku, ke  mana pun ia pergi. " 
Tulisan terkait : 
Para Maestro Melukis Segala Obyek 
http://herri-solo.blogspot.co.id/2012/03/pelukis-yang-melukis-semua-obyek.html
*About Duncan Graham*
CV Education: M Phil (UWA), Grad Dip Cultural Communication (Riverina), BA (Curtin) Languages: English (fluent). Indonesian (intermediate). French (intermediate). Past employers: Fairfax Press (The Age & Sydney Morning Herald – both broadsheet dailies) as a reporter and feature writers for ten years; ABC TV and Channel 9 as a presenter and producer for six years; AAP stringer for four years, Radio 6NR (manager for four years); The West Australian (Perth daily newspaper) where I did my cadetship. Awards: (All in Australia): Walkley Award for Journalism Human Rights and Equal Opportunity Media Award (Twice) Equal Opportunity Commission Media Prize (Twice) Daily News Centenary Prize; Perth Press Club Award; MBE Health Award WA Week Book Award (now the Premier’s Prize) for non-fiction. Media grants: Two from the Western Australian government, one from the Australian government. All to report on issues in Indonesia. Published books: The People Next Door (UWA Press), Being Whitefella (FAC Press), Dying Inside (A & U). SEE ALSO: www.newzealandnow.blogspot.com