![]()  | 
| 
 
Dikoleksi oleh Sudwikatmono, dihibahkan menjadi koleksi: 
 | 
Intro: Kita angkat kisah dibalik  lukisan "Pak Harto si Anak Desa" ,  karena: lukisan ini terpilih sebagai cover buku ilmiah dunia yang terbit di Inggris akhir 2014 / awal 2015. 
Buku seri Politics In Asia yang berjudul "Illiberal Democracy in Indonesia ... " tersebut dibandrol dengan harga $155.00 (sekitar Rp 2 juta ).. jelas ini bukan buku sembarangan..!!
Lukisan ini salah 1 dari 3 buah lukisanku tentang ironi Orde Baru. (semacam trilogy). 1-Pak Harto si Anak Desa., 2-Krisis di Titik Kritis, 3- Tinggal Landas Tinggal Amblas.
Latar belakang, Gagasan, Konsep
Buku seri Politics In Asia yang berjudul "Illiberal Democracy in Indonesia ... " tersebut dibandrol dengan harga $155.00 (sekitar Rp 2 juta ).. jelas ini bukan buku sembarangan..!!
Lukisan ini salah 1 dari 3 buah lukisanku tentang ironi Orde Baru. (semacam trilogy). 1-Pak Harto si Anak Desa., 2-Krisis di Titik Kritis, 3- Tinggal Landas Tinggal Amblas.
Terlepas dari pro kontra yang berkepanjangan tentang
mantan Presiden Soeharto ... sebagai presiden yang paling lama memimpin Indonesia, kebesaran namanya sekaligus kekurangannya harus kita sadari dan pelajari bersama.
Paling tidak, ada satu prestasi menonjol yang menarik perhatian dan diakui dunia. Yang membuat negeri ini boleh dikatakan (waktu itu) gemah ripah loh jinawi. Pangan tersedia secara melimpah dan tersebar secara merata ke seluruh pelosok Tanah Air. Tidak ada orang yang kesulitan makan karena harga beras yang mahal dan langka, tidak ada kesulitan mencari kedelai, tepung terigu, minyak goreng, maupun kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok lainnya.
Paling tidak, ada satu prestasi menonjol yang menarik perhatian dan diakui dunia. Yang membuat negeri ini boleh dikatakan (waktu itu) gemah ripah loh jinawi. Pangan tersedia secara melimpah dan tersebar secara merata ke seluruh pelosok Tanah Air. Tidak ada orang yang kesulitan makan karena harga beras yang mahal dan langka, tidak ada kesulitan mencari kedelai, tepung terigu, minyak goreng, maupun kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok lainnya.
Itu dampak langsung keberhasilan program pembangunan
pertanian dan revolusi ketahanan pangan. Kesuksesan ini mengantarkan Pak Harto
diundang berpidato di depan Konferensi ke-23 FAO (Food and Agriculture
Organization /Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia), di Roma, Italia, 14
November 1985. 
FAO memberikan
penghargaan  kepada  Pak Harto (Indonesia), karena  keberhasilannya dalam mencapai swa sembada
pangan / beras. 
Bahkan yang perlu dicatat, Indonesia pernah dijadikan contoh sukses (role model) bagi negara sedang berkembang lainnya di Dunia Ketiga, untuk mengentaskan masyarakat dari kelaparan dan kekurangan pangan. ( Dr Purbayu BudiSantosa, dosen IESP FE Undip.)
Bahkan yang perlu dicatat, Indonesia pernah dijadikan contoh sukses (role model) bagi negara sedang berkembang lainnya di Dunia Ketiga, untuk mengentaskan masyarakat dari kelaparan dan kekurangan pangan. ( Dr Purbayu BudiSantosa, dosen IESP FE Undip.)
Tentu saja
semua  itu tak terlepas dari pemahaman yang
mendetail atas masalah-masalah pertanian oleh 
Soeharto,  Presiden RI , yang masa
kecilnya memang  tumbuh di desa,  dikalangan keluarga  petani
Khusus untuk lukisan ini, aku hanya  mencatat  satu sisi saja, bahwa:  Pak Harto adalah seorang Presiden RI yang
sangat menguasai persoalan Pertanian melebihi siapapun, sehingga berujung  dengan terwujudnya swa sembada pangan,
sehingga mendapatkan  penghargaan dari  FAO. Itu saja... 
Sedangkan masalah lain, kuangkat ke dalam lukisan lain, realisme kritik sosial .
Sedangkan masalah lain, kuangkat ke dalam lukisan lain, realisme kritik sosial .
Gagasan positif dibalik lukisan ini adalah : agar menjadi pengingat abadi
bahwa: Negeri agraris yang subur,  dengan
penduduk  ¼ milyar, seharusnya  tidak menggantungkan ketersediaan  pangan 
kepada bangsa lain .. . akan sangat berbahaya dan fatal bagi bangsa
Indonesia,  kalau pangannya
tergantung  bangsa lain.
Bangsa
ini  harus sekuat  tenaga dan ber-sungguh2 berupaya keras, agar
bisa makan dari hasil bumi sendiri …  Mengembalikan
lagi Swa sembada pangan… !! Tak ada pilihan…!!
 Riwayat Proses Kreatif yang Panjang [modus
cerita –  aku..]
 Th ’96-97an , 
masih di Era Orde Baru...  
Aku bermaksud
mematikan TV , karena  tak ada yang
nonton.. Tapi nggak jadi,  karena tertarik
pemandangan desa, sawah dan gunung di TV kelihatannya bagus banget.
Oooh…
ternyata itu  sisipan pembukaan  acaranya Pak Harto (Presiden Suharto) yang sedang  blusukan dari desa ke desa.  Acara yang konon waktu itu sangat
ditunggu-tunggu oleh petani se Indonesia.. Apa sih istimewanya acara ini ? Aku
jadi penasaran ingin menonton.
Di layar TV
terlihat..:  Di balai desa Pak Harto
ditemani para staf , ajudan pengawal dan menteri terkait, duduk berderet
menghadap  ke arah penduduk  desa yang duduk tertib pada kursi yang
tersedia.  Dan dimulailah dialog , tanya
jawab Pak Harto dengan KLOMPENCAPIR (Kelompok Pendengar, Pembaca, Pemirsa). 
Wow… Ternyata  Presiden 
sangat menguasai masalah-masalah pedesaan, pertanian dan peternakan
dengan sangat detail.  Beliau bisa bicara
panjang lebar  Soal bibit, tanaman, hama
wereng, insektisida,   pupuk , kotoran
sapi jadi biogas , inseminasi buatan dan lain-lain dengan sangat lancar
,spontan dan gamblang. 
Pemahamannya
soal pertanian jauh lebih baik  dari para
petani dan para staf / menteri yang terkait   sungguh 
menakjubkan..!!  Tak heran kalau Indonesia waktu itu  bisa swa sembada pangan / beras. 
Kubeli  buku biografi Pak Harto  yang berjudul “Anak Desa” . Dari situ aku  mengerti, ternyata masa kecilnya memang hidup
dalam lingkungan keluarga  petani di desa.
Aku jadi
sering nonton acara tersebut , dan ,.. jujur keahlian Presiden  dalam bidang pertanian itu selalu membuatku
takjub.. sampai akhirnya muncul keinginan kuat untuk mengabadikannya kedalam
lukisan. 
Proses pembuatan Lukisan: 
Hal itu mengharuskanku untuk mencari data sebanyak-banyaknya, dari manapun.. dari koran majalah, kliping lawas..dll.
Berbekal
drawing yang sudah matang dan Foto wajah Pak Harto, Lukisan ini mulai
kukerjakan… Figur selebihnya aku lukis langsung di kanvas dengan memanggil
model.
Proses Masuk ke Museum
Purnabhakti  Pertiwi
 Lukisan ini baru 50%,  belum selesai, tapi  terpaksa harus aku tinggalkan ke Jakarta untuk menghadiri  sebuah undangan  pameran  …  
Ternyata ada hikmahnya. Beruntung
sekali, disana  aku bisa berkenalan
dengan Pak Sudwikatmono yang kemudian mengundang kami serombongan untuk melihat  Gallery dan koleksi pribadinya di "Istananya".
![]()  | 
| Herri Soedjarwanto, bersama rombongan Dewi Motik di Gallery Pribadi Sudwikatmono | 
Ketika  kami sedang melihat lukisan di Gallery nya, Pak Dwi  menghampiri  : “ Saya ingin punya lukisan pak Harto yang  seperti ini, bisa nggak kau bikinkan ? “.
Katanya sambil menunjukkan foto-foto Pak Harto 
yang sedang berdialog dengan rakyat petani di balai desa…  ada pengawal ada meja kursi,  mikrofon, sound sistem  dsb,…  situasinya -/+ mirip  seperti yang kulihat di TV. . Aku agak
kaget  juga .. kok bisa kebetulan banget ??
(mungkin ini yang namanya jodoh  ) … Setelah itu sejenak  kita terlibat diskusi kecil…
“Baik Pak , saya mengerti,
intinya adalah lukisan yang menunjukkan Pak Harto sangat dekat dengan rakyat
kecil (petani) dan peduli denga persoalan mereka… Kalau begitu sih , saya punya
ide  yang  lebih bagus dari pada yang terlihat pada foto ini Pak..” jawab saya. 
Lalu dengan
selembar kertas dan pensil , aku buat  sketsa  kasar yang persis dengan lukisanku di rumah
yang belum jadi, sambil  kujelaskan pada
Pak Dwi tentang lukisan ‘Pak Harto si Anak Desa’…
![]()  | 
| Herri mempersiapkan Lukisan di Galeri Pribadi  Sudwikatmono, untuk dibawa ke Museum Purnabhakti Pertiwi (Museum Presiden Soeharto).  | 
Pak Dwi
manggut2 : “ OK .. saya
suka rancangan dan konsep lukisan ini … segera diselesaikan  ya... Akan
saya  pajang di Museum Purna Bhakti
Pertiwi,  bikin yang besar .. 2 x 4
meter  “
“Waduh Pak ,
yang di rumah itu maksimal sekitar  1 x 2
meteran, gimana  ? “
“ Oh ya sudah
nggak papa, itu dulu diselesaikan, lalu bawa kesini… anggap  itu sebagai masternya…  Setelah itu , nanti  baru kau buat lagi yang  4 meteran…”
Beberapa
waktu kemudian , lukisan selesai dan kuserahkan langsung pada Pak Sudwikatmono. .. 
Saat itu (1998) Jakarta sudah mulai memanas dengan demo anti Soeharto dimana-mana.
Saat itu (1998) Jakarta sudah mulai memanas dengan demo anti Soeharto dimana-mana.
Setelah itu  aku tak pernah bisa menghubungi beliau  lagi.. Biasanya beliau langsung  menerima telponku, tapi kini  cuma suara sekertaris yang selalu berkata :”
Maaf… Bapak tak ada di tempat..” . 
Aku maklum , situasi politik  semakin panas dan tak kondusif… dan memang  tak lama kemudian , Pak Harto pun lengser. Semua keluarga termasuk Pak Sudwikatmono 'tiarap'.  Sehingga 
proyek pembuatan lukisan yang  4
meter dan rencana lukisan lain-lainpun ikut 
terkubur..
Artikel terkait lukisan Pak Harto baca di kliping koran  
klik di sini Dari Jalanan sampai Lukis Presiden
Artikel terkait FAO dan Pak Harto
Artikel terkait FAO dan Pak Harto



Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tulis komentar, pertanyaan, usul / saran disini