Riwayat
Dullah melukis "Kompi Widodo", Herri yang baru gabung diminta menjadi modelnya. Sebelumnya ia juga jadi model beberapa figur terakhir lukisan Dullah "Jumpa di Tengah Kota" |
1970- Dullah mengajar praktek melukis di HBS (Himpunan Budaya Surakarta).
1973-Dullah mulai
sering tinggal di Ubud Bali , dan diikuti oleh beberapa murid HBS.. Kok Poo ,
Inanta, Hok Lay dll..yg kerap disebut grup Semarang.
1974-Dari Ubud
pindah ke Puri Pejeng, dan kemudian berdirilah
Sanggar Pejeng.
1976- Herri (18 tahun), di Solo menerbitkan komik silat,kolaborasi dengan penulis naskah Kho Ping Hoo.(klik untuk baca kisah serunya)
1977 akhir,…
Herri (19 tahun) berangkat ke Bali, mulai belajar pada Dullah dan aktif di Sanggar Pejeng.
Saat Herri tiba di Pejeng, sudah ada
murid-murid angkatan pertama yang telah belajar pada Dullah selama 7-8
tahun. Usia mereka antara 30 sampai
40tahun.
Kok Poo adalah murid pertama dan yang umurnya juga paling tua ( 40 tahun ). Lalu ada Inanta, Hok Lay, Tjwan Tik, Ping Dang, T. Yuwono.. dan lain-lain.
Kok Poo adalah murid pertama dan yang umurnya juga paling tua ( 40 tahun ). Lalu ada Inanta, Hok Lay, Tjwan Tik, Ping Dang, T. Yuwono.. dan lain-lain.
Disitu juga ada murid yang dibawah angkatan Kok Poo cs, dan menjadi akrab dengan Herri yaitu Zainal (yang sebelumnya sudah saling kenal
di Solo), Usman Munandar dan lain-lain..
Saat Herri tiba di Pejeng, Dullah dan semuanya sedang
sibuk melukis, mempersiapkan “Pameran
Serangan Umum Satu Maret” (1978), yang diadakan 3 bulan lagi. Dullah sedang melukis "Jumpa di tengah kota" yang sudah hampir selesai. Herri yang baru datang, diminta untuk menjadi model beberapa figur terakhir dalam lukisan itu,.juga lukisan kompi Widodo
Diluar itu Herri harus menyelesaikan dulu persoalan bagaimana bertahan hidup di Bali, selain belajar melukis. Tapi akhirnya Herri berhasil juga menyelesaikan satu lukisan untuk disertakan dalam pameran di Gedung Agung itu.…
Diluar itu Herri harus menyelesaikan dulu persoalan bagaimana bertahan hidup di Bali, selain belajar melukis. Tapi akhirnya Herri berhasil juga menyelesaikan satu lukisan untuk disertakan dalam pameran di Gedung Agung itu.…
Posisi Herri di Mata Dullah dan di Sanggar Pejeng
Sanggar Pejeng pasca
Pameran Gedung Agung.
Herri mendampingi Dullah wawancara dengan media dalam pameran di Jkt |
Saat itu hanya Herri dan KokPoo saja yang secara tetap menemani Dullah tinggal di Studio Puri Pejeng. Selain di Puri, diluar Puri Herri juga mengontrak
rumah penduduk. Kalau banyak murid tua datang , studio penuh sesak, maka Herri sebagai
yang muda mengalah pindah ke rumah untuk sementara.
Sementara itu,...
mundur sejenak…, pameran di Gedung Agung , ternyata banyak menarik minat orang untuk belajar di Sanggar Pejeng.. mereka
berdatangan dari segala penjuru.. sehingga jumlah anggotanya sejak angkatan
pertama sampai terakhir yang ada disana menjadi sekitar 40an orang. Herri sendiri beberapa bulan kemudian banyak membawa teman-temannya dari Solo ke Pejeng ,
diantaranya G. Munis, Santosa, Nur Ali,
dan lain-lain…
Keadaan ini mau tak mau memaksa Dullah harus merubah sistem
dalam mengajar dan pola hubungannya dengan para murid ..
Dulu pada generasi pertama
(Kok Poo , Inanta cs…) muridnya hanya 5-6 orang hingga bisa hidup bersama dan belajar
langsung pada Dullah, kemudian ditambah seorang lagi yaitu Herri, yang memang
didatangkan untuk menemani Dullah begadang melukis sampai pagi.
Di Studio Dullah, Sanggar Pejeng kumpul, rapat, suk-sukan. |
Sekarang ketika sudah berjumlah 40 orang murid, sudah tak mungkin
lagi semua ketemu dan belajar langsung..tentu akan sangat mengganggu, mengingat
Dullah juga semakin sibuk banyak
pesanan. Dullah berpesan tegas pada Herri:” Kalau belum bisa melukis bagus,
anak-anak jangan dibawa kesini Her.. “
dan pesannya kepada anggota sanggar:” Kalau ada kesulitan tehnik, kalian tanya ke Herri atau Kok Poo,
jangan langsung ke Pak Dullah”.
Dan itu adalah penunjukan lisan langsung Herri dan Kok Poo sebagai asisten Dullah untuk mengajar dan membimbing tehnik melukis
di studio maupun di luar (landscape). Pada prakteknya, karena Kok Poo sibuk
dalam urusan administrasi, Herri lah yang lebih banyak membimbing teman-teman.
Sementara Zainal mendapat tugas
mengajari sketsa.
Selain itu, inilah fakta-fakta yang menunjukkan sejauh mana
pentingnya posisi Herri di mata Dullah dan Sanggar Pejeng:
pentingnya posisi Herri di mata Dullah dan Sanggar Pejeng:
1)- Dullah memilih muridnya yang terbaik dan
terkuat, untuk tugas yang berat dan penting:
"Pak Harto malam menjelang SU 1 Maret memeriksa persiapnan Gerilya di Patuk." karya ; Herri Soedjarwanto Koleksi Istana Negara RI/ Istana Merdeka |
*Th1979- Berdasarkan seleksi karya ,
Herri dipilih dan dipercaya Dullah, untuk menggarap lukisan “penting dan
bergengsi” yang diincar oleh semua murid Dullah ketika itu. Sebuah lukisan
besar kolosal tentang pak Harto (Presiden RI) (klik, untuk baca riwayat lengkapnya)
2)-Th 1979 – Sketsa
wajah Dullah karya Herri, diakui Dullah sebagai sketsa paling kuat dan paling
persis,dan diabadikan dalam catalog.
Di dalam katalog “Pameran
400 Lukisan Realistik karya Dullah dkk.”, (yang merupakan catatan peninggalan
penting Sanggar Pejeng)... Untuk wajah
peserta pameran, harus memakai sketsa.. tak boleh foto. Pada waktu itu semua
murid berlomba membuat sketsa wajah Pak Dullah, dan berharap sketsanya yang
dipilih Dullah.
Tapi lagi- lagi terbukti , Dullah memilih
Sketsa Herri. Sketsa itu mendapat penilaian dan pengakuan dari Dullah sebagai sketsa paling kuat dan paling persis.
Sketsa wajah Dullah itu kemudian diabadikan dalam peninggalan penting Sanggar
Pejeng tersebut.
3)- Herri masuk 9 murid
terbaik pilihan Dullah versi catalog “Pameran 400 Lukisan Realistik karya Dullah
dkk.”
Katalog Pameran Jakarta 1979 , catatan terpenting terlengkap tentang Sanggar Pejeng |
4)- 1979 “Pameran 400
Lukisan Realistik…”. akan digelar di
Jakarta . Di Bali, Dullah menunjuk Herri (murid termuda) sebagai Ketua Pameran,
bertanggung jawab mempersiapkan 400 lukisan.
Persiapan Pameran di Aldiron Jakarta. Pengepakan pigurapun kelompoknya harus disesuaikan dengan rancangan Herri, agar tak meleset karena sempitnya waktu pemasangan kelak. |
Ruangan lantai 3 Aldiron, seluas separuh lapangan sepak bola
itu , akan dipasangi sebanyak 417
lukisan. Waktu itu belum ada sketsel, jadi harus bikin desain sendiri. Herri ditugas oleh Dullah , merancang ruang
dan sketselnya agar cukup untuk memasang
417 lukisan. Beberapa hari kemudian, belum lagi selesai rancangan itu, datang
khabar yang lebih gawat lagi..
Rencana pembukaan tgl 20 Des 1979, jam 5 sore… Tapi Aldiron
tgl 19-Des malam masih dipakai acara lain. Setelah jam 1-2 malam baru bisa memasukkan 400 lukisan dan
memasukkan tukang beserta plywood untuk membuat sketsel. Dan semua harus
selesai , rapi bersih sebelum jam 5 sore.. !!
Ketika semua teman-sanggar terus menyelesaikan lukisan,
Herri terpaksa berhenti , demi merancang detil-detil pemasangan lukisan di
Aldiron nanti. Padahal selain itu Herri juga masih harus ngebut menyelesaikan
lukisan Pak Harto untuk mendampingi lukisan Bung Karno-nya pak Dullah.
Renc Pembuatan sketsel, penyusunan, pemasangan dan juga penataan 400 lukisan di Aldiron yg dibuat Herri secara detil selama 2 minggu. (klik kanan gambar, open new tab, untuk membesarkan) |
Rancangan yang sangat detail itu memastikan bahwa: Lukisan
si A berjudul Anu ukurannya sekian
terletak tepat di titik ini..Tak boleh
tertukar lagi karena sudah tak ada waktu lagi untuk berpikir , harus kerja
seperti robot. Anak sanggar dibagi 10 team, tiap team terdiri dari 3 orang.
Tiap team bertugas memasang 40 lukisan yang sudah
dikelompokkan dan sudah dipastikan letaknya juga jangka waktunya,
semua sudah dihitung cermat dan direncanakan sejak di Bali, oleh Herri.
*Kelak pada hari H, pada saat Pak Adam Malik ( wakil Presiden RI)
terdengar sedang menyampaikan pidato pembukaan, tepat pada saat itulah lukisan
terakhir sedang dipasang.!! Tak terbayangkan apa yang terjadi, seandainya pemasangan itu tanpa rancangan yang
mendetail…bisa berantakan pameran ini.. *
5)-1980 Dullah menunjuk Herri (murid termuda) menjadi Ketua Delegasi Sanggar Pejeng untuk memasang lukisan
perjuangan di Istana Kepresidenan Yogyakarta “ Gedung Agung”.
Setelah usai “Pameran
400 Lukisan Realistik…” di Jakarta, lukisan dibawa pulang ke Sanggar Pejeng,
Bali…
Beberapa waktu kemudian dari
Jakarta terdengar berita bahwa pihak Istana Negara ada rencana untuk membeli
semua karya Lukisan Perjuangan, tapi ingin melihat seluruhnya dulu, dan minta
untuk di pasang di Istana Kepresidenan
Yogyakarta “Gedung Agung”. Konon akan diperiksa langsung oleh Pak Harto,
sewaktu-waktu beliau ke Yogya.
Surat Dullah menugaskan Herri menemui (menelpon) p Gafur soal Lukisan di Istana (depan) |
Surat Dullah menugaskan Herri menemui (menelpon) p Gafur soal Lukisan di Istana (belakang) |
Dullah memanggil beberapa muridnya dan menunjuk Herri
sebagai ketua delegasi, meskipun saat itu
Herri adalah murid yang termuda. Anggota lain yang berangkat bersama
Herri adalah : Tjwan Tik (Pringgo Utomo) , T. Yuwono, Usman Munandar, Zainal, dll… Mereka berangkat dengan membawa sekitar 20 an lukisan Perjuangan. Menginap selama beberapa hari di Gedung Agung.
Setelah kembali ke Bali, agak lama kemudiaan , barulah ada kabar bahwa pihak Istana akhirnya hanya membeli
satu lukisan saja , yaitu lukisan
tentang Pak Harto , karya Herri, : “ Letkol Suharto, Malam menjelang SU 1
Maret”. Itu lukisan yang dibuat pada
saat-saat terakhir untuk mendampingi lukisan Dullah “Bung Karno di Rapat Ikada”…
sehingga kedua lukisan itu malahan tak
sempat masuk catalog.
6)- 1981 secara resmi tertulis Herri bersama Kok Poo ditunjuk sebagai asisten Dullah untuk membimbing dan mengajar tehnis melukis pada anggota sanggar, dan Zainal
membimbing sketsa..
7)-Sanggar Pejeng
dibubarkan Dullah.. Herri membentuk
Sanggar Pejeng Baru diluar Puri Pejeng.
Sekitar tahun 1981-an, banyak
masalah mendera Sanggar Pejeng. Dari
masalah narkoba sampai masalah social yang berkaitan dengan penduduk sekitarnya.
Dulah sangat malu dan murka sehingga memutuskan : Sanggar Pejeng Dibubarkan..!!
Keputusan ini tentu saja sangat meresahkan semua anggota sanggar, juga mereka yang baru saja datang dari
Jawa, dan belum sempat masuk sanggar. Maka sekitar 20an orang lebih, mendatangi Herri, meminta Herri untuk
membentuk dan memimpin Sanggar meskipun tanpa pak Dullah.
Herri melukis langsung di alam bersama. Rutinitas tiap pagi tak berubah meskipun sanggar Pejeng dibubarkan oleh Dullah |
Beberapa bulan kemudian , setelah situasi reda, Dullah berkata
:” Her , pak Dullah dengar kamu membentuk Sanggar Pejeng baru?”
“Iya Pak maaf, habis kasihan mereka seperti kehilangan
pegangan. Mereka orang baik-baik , tak terlibat masalah , tapi kena dampak
dibubarkan. Apalagi ada beberapa yang baru saja datang. “
“Baiklah Herri, katakan
pada mereka , Pak Dulah mau mengasuh lagi, dengan beberapa syarat, agar kasus
serupa tak terulang.. . Saya juga minta daftar anggota sanggarmu”.
Dari daftar nama itu, Dullah mencoret beberapa nama yang dianggap bermasalah
dan tak berkenan di hatinya. Dan... kemudian Sanggar kembali berjalan seperti sedia kala.
8)- Beberapa waktu kemudian, 1982 Sanggar Pejeng dan HBS Solo mengadakan pameran di Solo. Tepatnya 12-16 Februari 1982 di Monumen Pers Solo. Peserta dari Sanggar Pejeng Bali berjumlah 21 orang, semuanya menginap bermalam di rumah Herri selama seminggu lebih.
8)- Beberapa waktu kemudian, 1982 Sanggar Pejeng dan HBS Solo mengadakan pameran di Solo. Tepatnya 12-16 Februari 1982 di Monumen Pers Solo. Peserta dari Sanggar Pejeng Bali berjumlah 21 orang, semuanya menginap bermalam di rumah Herri selama seminggu lebih.
Nah , itu tadi baru sebagian . Setidaknya sudah cukup membuktikan
bahwa Herri adalah orang yang berkompeten dan punya keabsahan tinggi untuk bicara soal
Dullah dan Sanggar Pejeng.
Baca tulisan sebelumnya yang terkait topik diatas
(I) Sanggar Pejeng, Antara Citra dan Realita.
baca tulisan lanjutannya yang terkait ....Baca tulisan sebelumnya yang terkait topik diatas
(I) Sanggar Pejeng, Antara Citra dan Realita.
(III) Sanggar Pejeng, Antara Citra dan Realita: Lukisan Palsu dan...Sistem Mengajar Dullah
Selamat berkarya mas herri salam dari yeyeq bali
BalasHapus